Mungkin sudah terlalu terlambat untuk mengenal sebuah karya dari Dee Lestari yang sangat fenomenal; Supernova. Baru belakangan saya tertarik untuk mengajak buku pertama dari Hexalogi karya Dee ini ke rumah. Sebenarnya sudah cukup lama mengetahui tentang novel ini, hingga filmnya pun saya sempatkan untuk menonton—walau dalam versi DVDRip. Saya menonton Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh setahun setelah film itu dirilis, ketika iseng berselancar di situs unduhan film, terpampang poster sebuah film yang menurut saya menarik. Di gambar dalam rupa patung—atau entah apa—dengan nama tokoh di sampingnya. Menarik menurut saya. Tapi, setelah menonton filmnya? Rasanya tidak terlalu spesial, efek-efek CGI semacam merpati terbang yang sangat mengganggu mata membuat saya cukup untuk mengurungkan membaca novelnya waktu itu. Hal yang menarik dari film itu mungkin hanya aksen bicara seorang Diva Anastasya yang diperankan oleh Paula Verhoeven yang entah mengapa di telinga saya terasa sangat menggemaskan—atau entah dengan definisi apa, menggemaskan sebenarnya kurang pas—dengan suara bule juga bukan, tapi untuk aksen indonesia terlalu bule, entahlah. Tapi, memang menarik karakter Diva di film itu.
Selang bertahun kemudian, saya secara tidak sengaja menengok sebuah toko buku di bilangan Jalan Affandi, Jogja. Sebenarnya kesana hendak mencari buku seri Bilangan Fu karya Ayu Utami—setelah sebelumnya menamatkan Saman, Larung, dan Bilangan Fu—tetapi, tiba-tiba terhenti di rak khusus karya Dee, melirik, dan seketika tertarik menimang satu buku, buku pertama seri Supernova.
Sebenarnya saya telah beberapa kali bersingungan dengan karya-karya Dee, sebelumnya saya pernah menamatkan Perahu Kertas; termasuk filmnya, Rectoverso; termasuk CD Musik dan filmnya tentu saja. Tapi entah saat itu tidak tertarik membaca Supernova.
***
Petualangan saya bersama Supernova akhirnya di mulai. Untuk 10 halaman pertama, saya langsung dibuat mengernyitkan dahi. Istilah-istilah ilmiah yang sangat kompleks memenuhi halaman-halaman awal buku Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh. Bahkan, footnote-nya saja sampai-sampai memenuhi hampir setengah halaman untuk menjelaskan istilah yang disebutkan.
Beberapa puluh halaman terlewati, semakin sedikit istilah-istilah ilmiah yang dipakai, otak saya pun mulai mampu memahami apa yang di tuliskan Dee di buku yang pertama kali terbit awal tahun 2000-an ini.
Di seri pertama ini, saya lebih senang membaca perihal Diva daripada kisah cinta cum perselingkuhan antara Rana dan Feree. Yap, Rana juga cukup menarik disini, tapi come on, siapa yang tidak jatuh cinta dengan seorang Diva Anastasya. Diva, seorang yang sangat cerdas menurut saya, punya prinsip, dan pemikiran yang sangat-sangat tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Saya kagum terhadap sosok Diva, bahkan meski dia seorang pelacur. Alasan dia melacur lah yang saya kagumi dan membuat saya mentolerir pilihannya sebagai pelacur.
“Apa yang kamu perdagangkan buat saya tidak seharusnya dijual. Pikiran saya harus dibuat merdeka.” – Diva Anastasya
Diva hanya rela tubuhnya yang diperjual belikan, ia tidak rela kebebasan berpikirnya, otoritas terhadap dirinya diperjual berikan. Hanya tubuhnya yang masih layak untuk diperdagangkan sebagai komoditi. Bahkan ketika memperdagangkan tubuhnya, ia tidak serta merta menjual tubuhnya kepada sembarang orang, mengobralnya, memberikan harga murah, berteriak-teriak macam pedagang yang berkata, “Mari beli, mari. Seribu tiga”. Tidak, ia menjual tubuhnya yang masih mampu dijual dengan harga mahal, tarifnya menggunakan mata uang Dollar. Bisa bayangkan di tahun 2001 berpikiran se-cemerlang Diva? Saya yakin kalau memang ada pasti yang Diva dapat adalah cemooh.
Tapi, dibalik sosok Diva yang mewah, dan serba mahal, Diva adalah seorang yang mempunyai tingkat kepedulian tinggi. Salah satunya terhadap sopir pribadinya.
Saya mengagumi Diva, sayang Diva hilang di akhir seri KPBJ. Ia dinyatakan hilang.
***
Saat ini koleksi Supernova saya sudah setengah termiliki. KPBJ, Akar, Petir sudah menghuni rak Ombak Library—perpus-perpusan tidak jelas yang saya inisiasi sendiri. Entah kapan seri ini akan rampung dan bertengger manis di rak buku berderetan dari seri pertama sampai keenam.
Semoga.
Tidak apa terlambat daripada tidak sama sekali. Saya juga baru mulai membaca Supernova awal tahun kemarin, soalnya memang kurang suka novel berseri. Sementara novel Dee yang lainnya malah sudah saya khatamkan berkali-kali (kecuali Aroma Karsa, soalnya tebal banget wkwk). Meski pada akhirnya, setelah saya baca semua, saya tahu karya Dee memang tidak bisa saya samakan dengan karya orang lain.
memang… saya akhir april kemarin akhirnya menyelesaikan Supernova, meleset agak jauh dari target yang pengennya Bulan Juni kelar. entah kemajuan atau malah saya yang tidak bisa kontrol. dari semua seri dee di supernova, saya tetap paling kagum dengan debut pertamanya di KPBJ. Bahasa yang sungguh menarik dan tidak sperti kebanyakan… dan pada akhirnya saya agak kecewa di IEP. krn misinya selesai, walau ada kabar bahwa supernova akan ada sequelnya entah kapan..
Hmm. Kalau saya justru lebih suka seri Akar dan Petir. Entahlah. Mungkin KPBJ bahasannya terlalu rumit untuk dicerna otak saya. Tetapi saya enggak memungkiri kalau saya suka beberapa pemikiran yang diselipkan Dee di dalam sana.
Debut pertama, biasa kak, paling idealis, semua pikiran dicurahkan disana, semua-mua yang pertama itu memang seperti itu, selalu paling epik, paling jelimet, paling ini-itu. Akar aku suka karena Bodhi—saya sebagai penikmat musik yang ga punk-punk amat tapi tahu Arian dan beberapa yang menginspirasi tokoh Bodhi—punya hal yang cukup soal referensi musiknya, dan saya suka musik. Dee di zaman itu mikir Novel saga gini gimana ya, kok kepikiran.
Nah, bener ini. Biar lebih mengesankan kali, ya.
Saya juga suka tokoh Bodhi. Dari semua tokoh Supernova, saya memang paling demen sama dia. Awalnya saya juga suka Diva sama Etra. Diva karena pemikirannya, Etra karena menghempas pergi tokoh utama yang ‘mesti’ cantik atau pinter dan blablabla. Tapi Bodhi memang bikin rasa suka saya stabil hahaha.
Bener banget. Di zaman orang-orang kayaknya demenannya novel yang genrenya umum seperti romance, Dee malah tampil beda. Salut emang.
Oh, omong-omong itu komenan dari Mademoisilla saya juga. *yatrus?