Kita di waktu lampau pernah seoptimis itu, berpikir bahwa hidup kelak di kemudian hari akan semudah dan segampang di mimpi-mimpi kita soal masa depan.
Kita kuliah, bekerja, menikah, beranak-pinak, lalu tua renta dengan cucu-cucu kita yang lucu-lucu dan menggemaskan.
Sayangnya kita sering lupa bahwa hidup tak seindah bayangannya. Bahwa hidup seringkali adalah tertawaan semesta.
Kita dipaksa pontang-panting sana-sini, siang malam, belum harus dihadapkan dengan masalah lain mulai dari sekadar masalah skripsi, sekadar masalah cinta, atau bahkan lebih rumit lagi masalah hati.
Kita dihadapkan dengan masalah yang seringkali tidak pernah kita sangka bahwa itu akan kita jumpai di waktu mendatang, tak pernah terbayang bahwa masalah-masalah yang dulu kita anggap remeh-temeh ternyata mampu menyudutkan kita di sisi paling dalam. Mampu membuat kita terjerembab dalam kepenatan yang memuakkan.
Maka kini, di waktu ini, kita tak lagi memiliki optimisme seperti dulu. Kita hari ini lebih sering menyendiri, lebih sering meratapi kenapa hidup tak seperti khayalan kita di waktu lalu.
Kita di masa ini adalah meratapi bagaimana kehidupan sengaja membuat kita menangis tanpa suara, membuat kita teriak tapi tak bisa, kita di masa ini adalah teriakan-teriakan kepiluan yang sudah dibungkam oleh kenyataan.
Kita di waktu kini adalah pesimisme tingkat tinggi. Menatap hari esok saja malas setengah mati. Kita setiap pagi diam-diam menggerutu, “Kenapa hidup sebegini tidak mengenakkannya.”
Lalu terlintas keinginan untuk kembali ke masa lalu, menetap di sana, tak ingin waktu berputar dan membawa kita kesini lagi.
Tinggalkan Balasan