Bilangan Fu adalah sebuah Novel karangan Ayu Utami yang pertama kali terbit di tahun 2008. Mengangkat tema Spiritualis kritis. Dan baru-baru ini diterbitkan ulang dengan sampul baru dan tambahan bab.
Rilisan baru Bilangan Fu disampuli dengan cover warna emas beraksen biru. Tulisan Bilangan Fu dibuat secorak dengan huruf jawa, yang konon didesain langsung oleh Ayu Utami. Dirilis dengan softcover dan dicetak pada kertas paperbook dengan tebal 562 halaman.
Novel yang mengangkat tema spiritualisme kritis khas Ayu Utami dibagi dalam 3 bagian utama, yaitu: Modernisme, Monoteisme, dan Militerisme. bagian pertama secara luas bercerita tentang pertemuan Sandi Yuda dengan Parang Jati yang sama-sama suka memanjat tebing, serta menjelaskan pertentangan antara Parang Jati dan Sandi Yuda dalam memandang modernisme. Bagian kedua diawali dengan bercerita tentang kelahiran Parang Jati, kisah masa kecilnya dan hubungannya dengan Klan Saduki. Di akhir bagian, Militerisme, bercerita tentang usaha-usaha yang dilakukan oleh Parang Jati dan Sandi Yuda untuk mempertahankan Sewugunung dengan berbagai cara dan juga konfliknya.
Modernisme
Bagian modernisme bercerita tentang bagaimana kisah hidup Sandi Yuda yang seorang pemanjat tebing yang melecehkan gaya hidup urban dan takhayul-takhayul pedesaan pada akhirnya bertemu dengan seorang Parang jati. Parang Jati, seorang mahasiswa Geologi yang tumbuh dan berkembang di desa sekitar Sewugunung, hidup berdampingan dengan takhayul, adat, budaya, dan segala yang mengitarinya. Pertentangan dari seorang diri Sandi Yuda tentu menjadi hal krusial, apalagi dia adalah seorang yang memuja modernitas.
Sandi Yuda dan Parang Jati akhirnya saling berteman. Sebagai seorang yang sangat memuja modernitas, tentu ia tidak bisa dengan serta merta menerima hal-hal aneh yang ada di desa tersebut. Dan sebagai seorang petaruh ulung, tak ada hal yang bisa dilewatkan dari sebuah taruhan. Sandi Yuda bertaruh bahwa ia akan meninggalkan cara-cara memanjatnya dan beralih menjadi pemanjat bersih atau sacred climbing dengan satu alasan yang mereka pertaruhkan.
Kritik-kritik Ayu Utami tentang sifat manusia modern yang tidak lagi mau berdampingan dengan hal-hal semacam takhayul ditumpahruahkan dalam wujud Sandi Yuda dan Parang Jati. Bentrokan-bentrokan pemikiran jadi hal yang tak bisa dipisahkan dari karya-karya seorang Ayu Utami. Kritis adalah salah satu hal yang menjadi dasar penulisan karya seorang Ayu Utami.
Banyak hal-hal yang menarik dibahas Ayu dalam bagian pertama ini, pertanyaan-pertanyaan kecil yang nyatanya punya pengaruh besar terhadap kehidupan kita sekarang. Misalnya, kenapa dalam satu minggu terdapat tujuh hari? Dalam konsensus mana ditentukan bahwa satu minggu ada tujuh hari, apakah karena masa penciptaan adalah 7 masa? Atau karena apa?
Monoteisme
Bagian kedua dari Bilangan Fu bercerita tentang Parang Jati kecil. Parang Jati kecil ditemukan di sendang Hu oleh Nyi Manyar. Lalu oleh Nyi Manyar diberikannya bayi kecil itu pada Suhubudi. Seorang pemerhati dan pelestari budaya yang berada di desa sekitar Watugunung.
Suhubudi adalah seorang pemimpin padepokan yang sangat luas, di dalamnya ada sebuah tempat yang tidak diizinkan untuk bersuara. Komunikasinya hanya bisa dengan menggunakan tulisan. Tak boleh ada kata-kata yang terucap dari mulut.
Parang Jati kecil tumbuh menjadi anak yang disukai oleh banyak anak, salah satunya adalah Kupu-kupu. Seorang anak yang juga ditemukan oleh Nyi Manyar 3 tahun pasca Parang Jati ditemukan di tempat yang sama. Tak bernasib seberuntung Parang Jati, Kupu-kupu ditolak oleh Suhubudi untuk dibesarkan di padepokan. Akhirnya, Kupu-kupu diberikan kepada sepasang suami istri yang baru saja kehilangan anaknya. Sang Bapak bekerja sebagai penambang batu di area penambangan Sewugunung.
Menginjak usia sekolah, Parang Jati bersaing untuk mendapatkan sebuah beasiswa dengan menulis sebuah karya ilmiah yang ditentukan oleh tim yang akan memberikan beasiswa. Parang Jati bersaing dengan Kupu-kupu, berargumen dan saling membantah artikel yang mereka tulis. Waktu terus bergulir, tiba suatu masa ketika Kupu-kupu akhirnya merasa bahwa ada yang merenggut sesuatu yang berharga darinya. Sesuatu yang dicintainya dengan sangat. Direnggut oleh sesuatu yang salah satu penyebabnya adalah Parang Jati.
Pemahamanan dan pandangan-pandangan kritis seorang Parang Jati kecil dan Kupu-kupu ini sebagai intrepretasi kritik-kritik tentang monoteisme, tentang bagaimana manusia yang ‘Bertuhan’ pada akhirnya melukai adat dan budaya yang sudah sekian lama ada dan terjaga. Amunisi-amunisi untuk mempertanyakan kenapa manusia-manusia yang mengaku beragama pada akhirnya harus terjebak pada kotak kosong kecil yang tanpa mampu memberi gambaran luar kotak tersebut.
Militerisme
Bagian Militerisme adalah bagian yang sepertinya paling erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Bercerita tentang bagaimana usaha-usaha Parang Jati dan Sandi Yuda untuk melawan perusahaan tambang, militer, dan diam-diam juga melawan saudara kecilnya, Farisi.
Perusahaan pertambangan berusaha menguasai daerah Sewugunung untuk menambang kapur-kapur yang berserakan disana. Setelah sebelumnya dengan pendekatan budaya nyatanya tidak berhasil untuk menguasai area bukit kapur. Perusahaan pertambangan akhirnya menggunakan cara lain untuk mengambil daerah. Mengerahkan kelompok-kelompok yang memusuhi budaya karena dianggap bertentangan dengan agama adalah salah satu cara paling mudah yang bisa digunakan oleh perusahaan besar seperti mereka. Didapuklah kelompok yang dipimpin oleh Farisi untuk mengambil alih daerah. Namun, nyatanya perlawanan Parang Jati dan Sandi Yuda tak semudah itu ditaklukan oleh Farisi.
Tak hanya menggunakan kekuatan kelompok, perusahaan juga ikut mengerahkan kekuatan yang dulu sering digunakan oleh ‘negara’ untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Militer diturunkan, bentrok dengan para polisi. Mengacaukan situasi. Banyak yang pada akhirnya menjadi korban karena ikut andilnya kekuatan-kekuatan besar untuk menyokong pengambil-alihan kekuasaan.
Memang dari dulu, penggunaan kekuatan militer sebagai sebuah sarana untuk melancarkan urusan menjadi pilihan paling mudah setelah semua usaha-usaha yang tidak represif tidak menemui titik tengah. Latar yang dibangun pun sesuai dengan pergolakan reformasi yang sedang terjadi di Indonesia pasca orde baru runtuh. Di mana, pada masa orde baru militer adalah kekuatan tanpa tanding, lalu di era reformasi harus dilucuti kekuasannya. Banyak militer yang masih terbawa era-era orde di mana kekuatan mereka jadi satu-satunya kekuatan yang tak bisa dilawan.
Membaca buku Bilangan Fu bukanlah membaca buku yang mampu membawamu dalam dunia penuh dengan khayalan fiksi semacam membaca novel-novel fiksi lain. Ketika membaca Bilangan Fu, maka kamu akan dibawa untuk mengetahui hal-hal lain yang kamu belum tahu namun nyatanya ada dan benar-benar nyata. Pengetahuan-pengetahun baru, stimulus-stimulus baru untuk membuat otakmu berpikir dan bertanya-tanya lebih banyak adalah hal yang akan kamu dapat pasca membaca novel yang tak hanya berat dalam ukuran massa, namun juga berat dalam memahami banyak hal yang sejatinya penuh dengan pertanyaan yang sampai sekarang entah sudah ada jawabannya atau belum.
Bilangan Fu bicara banyak hal mengenai agama, budaya, militerisme, dan tentu seperti yang sering dibawakan oleh Ayu dalam karya-karyanya, Spiritualisme Kritis adalah hal wajib dalam tulisan-tulisannya.
Jadi bagaimana nasib Parang Jati dan Sandi Yuda?
Tinggalkan Balasan