Belakangan saya baru saja kegirangan, apa pasal? Saya baru saja mendapatkan rilisan album yang setelah sekian lama saya cari. Sebuah album dari band asal Semarang, Cultural namanya. Album tersebut bertajuk Hidup Tak Selamanya Indah, rilisan sebuah label milik Ombat ‘Tengkorak’, Sebelas April Records pada tahun 2008 silam kalau tidak salah. Album itu kini sedang dalam perjalanan bersama jasa ekspedisi. Semoga selamat sampai rumah.
Bicara soal pengumpulan rilisan, saya baru giat mengumpulkan rilisan sekitaran awal mulai masuk bangku kuliah—sekarang sudah mau lulus, iya, tidak usah diingatkan—karena dekat dengan toko musik Demajors Jogja yang dulu bertempat di Jogja National Museum. Saya sering kesana dulu, sekedar melihat-lihat rilisan baru, menentukan incaran, dan membelinya beberapa waktu setelah uangnya cukup terkumpul untuk membeli. Dari Demajors lah saya mulai terpikir untuk mengumpulkan rilisan-rilisan fisik, selain karena dari dulu saya sebenarnya suka rilisan fisik. Saya saat kecil sering sekali membolak-balik booklet dari album yang kakak saya beli, dari mulai albumnya God Bless, hingga Bunga Citra Lestari, bahkan Shaden. Saya dengar album-album yang kakak saya beli sembari membaca lirik, membaca thanks to, atau sekedar melihat foto-foto personelnya.
Saya masih ingat dulu, kakak saya mempunyai setumpuk kaset-kaset beserta seperangkat walkman player pabrikan Sony Aiwa, lalu kakak saya setiap kerja sering membawa beberapa kaset di dalam tasnya. Dan saya sering iseng menyempil beberapa album yang saya suka untuk saya putar di tape deck tua entah mereknya apa. Hingga pada suatu masa, kakak saya tak lagi membeli kaset-kaset baru karena walkman kepunyaannya saya rusakkan. Saya masih ingat masa itu, saya iseng menaikkan tegangan AC yang masuk ke walkman dimana seharusnya hanya 3V, saya paksa naik ke angka 12V. Betapa bodohnya saya saat itu, saya merusakkan sebuah barang langka hanya karena iseng.
Bertahun-tahun saya tak lagi berurusan dengan rilisan fisik, meskipun untuk urusan rilisan digital saya kerap bersinggungan. Dari sekedar penyedia lagu-lagu di blog pada awal 2010 hingga saya menginisiasi sebuah kompilasi bersama kawan-kawan dalam lingkaran Blogger Metal Indonesia di sekitaran 2013. Di era-era jahiliyah itu, saya ‘membajak’ rilisan dari kawan-kawan musisi metal untuk dibagikan secara gratis melalui web download lagu—dan tentu web saya moncer sekali waktu itu. Mulai dari sekedar membangun web download musik, saya berkenalan dan bersingunggan dengan beberapa kawan blogger lain hingga iseng lah saya dengan teman-teman merilis album kompilasi online bertajuk ‘BMI Menjerit’. Rilisan itu mencapai 3 session, untuk session pertama dan kedua dirilis dalam format digital, dan rilisan ketiganya di rilis dalam format rilisan fisik CD-R. Dari perilisan fisik BMI Menjerit itulah saya mulai tertarik lagi untuk mengumpulkan rilisan-rilisan fisik.
***
Baru saja saya membaca sebuah artikel yang ditulis oleh Nuran Wibisono di Tirto.id berjudul Jalan Sunyi Para Pengarsip Musik yang membahas tentang pengarsipan lagu-lagu Indonesia. Dan saya setuju bahwa pengarsipan musik Indonesia tidak semudah yang dibayangkan. Banyak rilisan-rilisan yang tercecer dan tidak mudah ditemukan, padahal rilisan-rilisan tersebut punya nilai sejarah dalam perkembangan musik di Indonesia.
Beruntunglah Indonesia karena ada beberapa orang yang rela dan sedia meluangkan waktunya untuk mengumpulkan arsip-arsip musik dari era lama Indonesia. Sebut saja David Tarigan—David ini pernah bermain di film Garasi, berperan sebagai penjaga toko musik D’Lawas bersama Arie Dagienkz—bersama Christoforus Priyonugroho, Toma Avianda, Alvin Yunata, Norman Illyas, dan Dian Wulandari. Mereka ini, David Dkk. menginisiasi sebuah situs pengarsipan musik-musik pop Indonesia di era 50-70’an, bernama Irama Nusantara. Situs Irama Nusantara sendiri dapat diakses di www.iramanusantara.org.
Dilansir dari artikel Tirto.id, awal mula pendirian Irama Nusantara ini diawali dari dari kecintaan dan keisengan. Pada 2008 David punya proyek Kentang Radio. Radio berbasis internet itu memutar lagu-lagu Indonesia lama yang sudah ditransfer dari medium piringan hitam ke bentuk digital. Butuh 5 tahun hingga akhirnya Irama Nusantara berdiri. Dalam situs Irama Nusantara disajikan Audio, teks, dan visual yang terkait dengan rilisan tersebut. Di situs itu pula, pengunjung dapat mendengarkan lagu-lagu secara streaming, dan legal.
Dari Irama Nusantara ini saya dapat lagi mendengar rilisan-rilisan macam Albumnya God Bless ataupun album Original Soundtrack dari film Duo Kribo dalam suara yang lebih oldschool karena direkam langsung dari piringan hitam, kemudian di digitalisasi dan diolah suara lagi. Rasanya seperti kembali ke masalalu, merangsek ke era dimana musik-musik Indonesia era 60-70’an masih ramai terdengar. Ya, saya suka bernostalgia dengan rilisan-rilisan lama macam ini. Terimakasih David dan Irama Nusantara, terimakasih telah membawa kenangan lama—yang saya tak pernah punya karena lahir di akhir 90’an.
***
Saya punya keinginan, esok, suatu saat rilisan-rilisan yang saya kumpulkan saat ini, mampu dinikmati oleh generasi setelah saya. Misal anak saya, atau entah siapa yang membutuhkan untuk mendengarkan rilisan-rilisan ini, suatu saat. Kadang saya membayangkan besok ketika tua, ada sekerumunan anak muda, saling berkumpul, bertukar rilisan bersama saya atau sekedar mendengarkan rilisan-rilisan itu di sebuah kedai kopi kecil yang juga berisi seluruh koleksi buku dan rilisan-rilisan koleksi saya.
Tinggalkan Balasan