Kegagalan menjadi sahabat paling akrab untuk sebagian besar perjalanan hidup saya. Tak pernah sekalipun hidup tanpa kegagalan. Dari kecil rasanya sudah akrab sekali dengan hal-hal yang tidak menyenangkan ini, hal-hal yang selalu dihindari setiap orang—kalau bisa. Siapa sih yang mau gagal dalam hidup? Tidak ada, tentu saja.
PRA SEKOLAH
Pra sekolah tidak pernah dilalui semudah itu, umur 5 tahun—kalau tidak salah—saya sudah gagal menjadi manusia yang tidak cacat. Iseng-iseng main di dapur saat ibu sedang memasak, nyatanya malah membuat saya tidak punya kulit mulus sampai hari ini. Bocah kecil ini memilih bermain dengan minyak dan menyiramkannya di hampir separuh tubuh. Alhasil, hampir 3 bulan cuma bisa terbaring di tempat tidur dengan sekujur lengan dan kaki melepuh. Tiap hari dihantui momok tidak mampu berjalan.
TK
Masa taman kanak-kanak kata banyak orang adalah masa bermainnya anak. Tentu saja saya setuju. TK saya berjalan lancar seperti biasa. Saya cuma gagal men-cap ijazah TK saya sendiri, pasalnya kenapa? Karena Ijazah saya sudah di cap jari oleh teman lain. Tanpa izin saya. Dia cuma berkata, “Ijazahmu wis tak cap ke aku.” Bahkan gurupun tidak lantas melarangnya, malah mengizinkannya. What The…?
SD
SD menjadi masa yang tidak pernah ingin saya ulang sebagian waktunya. Menjadi manusia yang tidak mampu survive hingga enam tahun dan memilih pindah adalah salah satu kegagalan yang tidak pernah patut disyukuri, meski di sekolah baru akhirnya saya bisa menemukan beberapa orang yang pernah mengisi hidup saya kelak di usia remaja sebagai pasangan.
Di usia ini pula saya sadar saya gagal menjadi manusia yang mampu memahami pelajaran seni. Nilai saya tak pernah berakhir baik untuk pelajaran ini. Menentukan nada, menentukan tempo, memilih warna, menciptakan garis, atau bahkan sekadar menentukan nada ritmis saja saya gagal. Saya selalu gagal untuk segala hal yang berhubungan dengan seni, apapun itu.
SMP
SMP adalah masa puber paling liar bagi sebagian manusia. Mulai mengenal apa itu suka dengan lawan jenis. Mulai mengenal dunia luar yang lebih liar. Mulai mengenal kenakalan remaja yang untungnya saya tidak pernah masuk terlalu jauh, mentok hanya diam-diam ikut teman-teman merokok di kamar mandi waktu jam pelajaran.
Berbicara soal kegagalan di SMP, tentu saja saya gagal mendapatkan perempuan yang saya idamkan adalah hal yang tak bisa saya elakan. Saya ditolak tentu saja sering di waktu itu. Namun yang membuat saya merasa paling gagal bahkan sampai sekarang, saya gagal mengungkapkan perasaan kepada seseorang. Bahkan ketika tulisan ini ditulis seseorang itu sudah mau menikah dan belum juga saya ucapkan kalau saya pernah jatuh cinta—mungkin sekarang juga masih, atau jatuhnya sekarang hanya sekadar menganggumi—padanya. Saya terlalu takut untuk merusak pertemanan kami jika saya ungkapkan perasaan itu.
SMK
Daftar kegagalan paling banyak sepertinya masuk pada fase SMK. Saya gagal menjadi manusia yang mencintai cara kerja komputer dengan benar. Sampai saya selesai kelas 1 SMK, saya tidak pernah paham bagaimana cara kerja Bahasa Pemrograman Pascal. Naik kelas 2, saya gagal lolos kompetisi LKS Seluruh Indonesia hanya karena lupa me-restart komputer saya setelah selesai instalasi sistem. Sebuah kebodohan yang sangat bodoh. Kelas 3 pun tak jauh dari itu. Saya gagal masuk hampir seluruh Perguruan Tinggi di Jawa, sebut saja UGM, UPN, UNDIP, UNSOED, POLINES. Semua kampus yang ada jurusan yang saya minati menolak saya untuk menjadi mahasiswanya. Sial memang. Otak saya kurang tokcer untuk urusan beginian, mentok cuma bisa lolos seleksi administrasi, untuk seleksi akademik ya tentu saja, jeblok dibandingkan anak SMA.
KULIAH
Masa kuliah cukup menyenangkan. Punya pasangan, punya beberapa teman, di luar kota pula. Nyatanya, kebahagiaan tak berlangsung lama, saya gagal mempertahankan pasangan saya untuk tetap bersama saya. Kegagalan itu direnteti dengan kegagalan-kegagalan lain. Saya gagal bertahan dari patah hati paling dahsyat itu. Saya menghilang cukup lama paska patah hati, tidak menyambangi kampus sama sekali, tidak di rumah juga. Bertahan di rumah saudara yang jauh dari rumah dan kampus adalah cara saya lari dari sakit itu. Nyatanya, cara saya tidak membuat semua makin baik. Skripsi terbengkalai. Ketika teman-teman saya sudah mulai menulis skripsinya dengan baik, saya masih angot-angotan untuk sekadar bimbingan. Walhasil dosen pembimbing akhirnya memberi tengat waktu yang tidak masuk akal agar skripsi saya segera selesai. Dosen Pembimbing yang tidak hanya menyebalkan tapi juga saya haturkan banyak terima kasih untuk tekanannya yang akhirnya membuat saya menyelesaikan skripsi saya.
Tidak, tidak ada titik balik dalam tulisan ini. Saya hanya ingin menuliskan bahwa kegagalan adalah sesuatu yang tidak bisa kita hindari, meski kita tak pernah ingin merasakannya. Kegagalan adalah sesuatu yang harus diakrabi, agar kita makin pandai mensyukuri apa yang sudah kita lalui. Setiap kegagalan punya ceritanya, dan setiap cerita punya maksudnya sendiri-sendiri.
Tinggalkan Balasan