Bars of Death merupakan ide yang paling mendekati pertanyaan bagaimana jika hari ini Homicide melakukan reuni. Digawangi oleh tiga eks anggota Homicide era album “Godzkilla Necronometry”; Morgue Vanguard, Sarkasz dan DJ Evil Cutz, mereka bersepakat untuk kembali membuat proyek musik namun tidak dengan memakai nama Homicide.
Memulai debutnya, “A.C.A.G”, pada kompilasi “Memobilisasi Kemuakan” yang kami rilis menjelang pemilu 2014. Sejak itu mereka menulis dan merekam materi album, bereksperimen dengan samples, teknik rekaman dan tentunya narasi dan rima. Menyusun komposisi yang mengakar pada boombap klasik; hip hop era midas 90-an awal. Dikonstruksi dari elemen soul, crime funk, soundtrack film lawas, hingga ambient dengan balutan turntablism yang kental. Dengan rima padat multi-silabel khas Sarkasz dan Morgaue Vanguard, mereka mencatat naiknya nasionalisme chauvinistik yang menyeruak dari politik populisme lokal, fasisme global yang sedang marak, kisah klasik departemen kepolisian, marwah dari ikon-ikon musik favorit mereka (Public Enemy hingga Amiri Baraka), hingga perayaan tradisi MC-ing bravado di hip hop yang mereka besar bersamanya.
Namun proses album ini tak pernah benar-benar rampung hingga proyek tersebut terhenti di penghujung tahun 2017 dan mereka tidak lagi meneruskannya. Setelah nyaris 3 tahun tersimpan, pada awal tahun 2020 ini kami merilis album gagal tersebut apa adanya dalam format CD; 9 lagu yang hampir setengahnya sudah pernah dirilis dalam beragam kompilasi dan 1 remix. Bertamukan grup rap kolega mereka Blakumuh dan Eyefeelsix, dan polesan ambient dari Vladvamp (Koil) pada dua lagu. Direkam di studio Cutz Chamber oleh Jaydawn dan mixing & mastering oleh Hamzah Kusbiyanto. Artwork untuk sampul album dikerjakan oleh ilustrator Riandy Karuniawan.

Pengantar dari website Grimloc Records

Mungkin, pertama kali melihat daftar nomor dari album perdana sekaligus pamungkas dari Bars Of Death akan sedikit banyak membuat kita yang menanti-nantinya mengernyitkan dahi. Bagaimana tidak, nomor-nomor yang disodorkan tak lebih dari sekumpulan sisa-sisa artefak dari zaman masa lalu, tidak banyak yang baru selain memunguti yang telah tercecer beberapa tahun terakhir.

Nomor-nomor lawas dari All Cops Are Gods hingga Tak Ada Garuda Di Dadaku yang sudah cukup lama rilis turut masuk menjadi bagian dari album yang artworknya sangat tidak homicide, bayangkan kita kembali di era Homicide yang cover-cover albumnya hampir selalu berwarna sepia berisi foto-foto penuh makna tapi minim sentuhan, dari foto bendera merah yang berkibar hingga foto Bombox di atas batu nisan, dan tiba-tiba kini Bars Of Death membuat cover yang sangat berbeda. Tapi album pamungkas memang harus selalu memberi kesan yang selalu diingat. Representasi tak ada Garuda Di Dadaku sangat dapat saya terima di artwork Morbid Funk. Garuda tidak di Dada, Garuda ada di belakangmu, membebanimu dengan banyak orang yang menunggangi garuda diam-diam. Tapi, abaikan ini, ini hanya persepsi saya.

Ternyata, kejutan-kejutan kecil juga dibawa oleh album yang sudah separuhnya tersebar kemana-mana nomornya ini, kamu tidak akan menemukan skit seorang Ucok yang membanyol soal ‘Anarcho Sindicalis’ di nomor All Cops Are Gods yang tersebar dimana-mana itu.

Beberapa nomor yang juga menarik untuk disimak antara lain, Pecahan Tengkorak, dan Bait Kematian yang sudah dirilis di banyak platform.

Sebagai sebuah band yang sudah membunuh dirinya sendiri, Bars Of Death membuat batu nisan yang cukup untuk memikat siapapun berziarah. Batu Nisan yang esok, lusa, atau entah kapan akan selalu dikunjungi para peziarah dengan membawa bombox atau tape kompo sebagai pengganti bunga tujuh rupa. Bayangan saya adalah seperti pose Gaia Eyefeelsix di album Illsurekshun ataupun di cover Complete Discographh-nya Homicide.

*) Ditulis dengan malas-malas karena memang saya lebih suka menikmati album ini sembari membaca liriknya, bukan malah menulis resensi tidak jelas seperti ini