Hari ini pesta demokrasi kelar digelar. Riuh suara di sosial media nyatanya tak seriuh di lapangan. Masih terasa damai di TPS-TPS. Pagi tadi, TPS-TPS terpantau kondusif hingga proses pemungutan suara selesai.

Sore ini, penghitungan suara di TPS dekat rumah masih berlangsung. Entah siapa yang menang, tidak jadi soal. Yang ingin saya garis bawahi adalah bahwa kami, di akar rumput tidak menjadi beringas seperti mereka-mereka yang bersuara di sosial media. Kami masih mampu membangun reuni-reuni kecil-kecilan ketika hadir di TPS. Bersenda gurau dengan kawan-kawan kecil yang seringkali tak bisa lagi berjumpa karena kesibukan masing-masing.

Pemilu 2019 memang menyisakan banyak luka bagi kawan-kawan di sosial media, mulai dari kehilangan teman karena berbeda pandangan, hingga kehilangan teman karena perbedaan pilihan. Pemilu kali ini memang begitu riuh, perang antar buzzer di sosial media menggaet kaum-kaum biasa untuk ikut masuk dalam pusaran konflik yang seringkali hanya menguntungkan elite-elite yang berada di atas. Dibawah, yang terjadi hanya semakin besarnya batas-batas tegas antara pendukung calon satu dengan calon lain. Belum lagi, ketika politisi-politisi yang seharusnya memberi contoh untuk berdemokrasi dengan baik, nyatanya malah menjadi tungku, menjadi motor, menjadi pemantik keriuhan yang semakin tak bisa dibendung. Bukannya menjadi air yang menyejukkan, nyatanya konflik-konflik yang santer di sosial media malah di lempar oleh mereka-mereka yang punya kuasa untuk meredam konflik.

Maka, hari ini pasca eleksi selesai, mari kita kembali bangun dan rajut kebersamaan dan kedamaian. Jangan lagi ribut-ribut menuduh dengan hal-hal tanpa bukti. Sudah cukup 5 tahun ini linimasa sosial media dipenuhi dengan keriuhan yang memuakkan. Apa kalian tidak rindu untuk saling berbagi ucapan ulang tahun di Facebook, atau sekedar berbagi meme di Twitter tanpa harus saling tersinggung, tanpa harus saling mengolok-olok? Ya, saya sudah rindu dengan kebersamaan kita seperti dulu.

***

Saya harap siapapun yang memenangkan pertarungan kali ini tidak tiba-tiba sesumbar dan bungah, ingat ada yang juga menanggung kalah. Dan untuk yang kalah, saya harap tidak terus menolak kekalahan dan berteriak-teriak seolah dicurangi. Mari kita saling percaya, bahwa kawan-kawan kita semua yang sudah mengerahkan seluruh tenaga, waktu, dan usahanya adalah manusia-manusia jujur. Yang sama-sama bekerja untuk kebaikan bangsa.

Baru saja saya membaca sebuah surat dari Grace Natalie–Ketum Partai Solidaritas Indonesia–yang dengan kepala tegak mengakui kekalahan mereka dalam pertarungan suara dengan partai-partai lainnya. Keberanian dan ketangguhan yang dilakukan oleh Grace Natalie ini yang harusnya dibangun dalam perpolitikan kita. Berani mengakui kekalahan, berani mengambil sikap untuk menjadi ksatria. Mungkin kali ini Senayan memang belum menjadi arena kalian, tapi 5 tahun bukanlah waktu singkat untuk membangun citra dan menggaet suara, semoga lima tahun kedepan suara kalian mampu menembus senayan. Bravo!

Dan untuk siapapun nanti yang menang ataupun kalah dalam pertarungan pilpres, semoga sikap kalian setidaknya seperti Grace Natalie! Masih ada kesempatan, masih ada peluang, silahkan bangun massa dari sekarang dengan cara yang baik, santun, dan tidak gaduh seperti 5 tahun yang lalu.